Sabtu, 14 November 2009

Tarbiyah Hak Semua Orang

Abu Bakar ra. mewakili kalangan tua dan tokoh masyarakat. Ali bin Abi Thalib ra. mewakili kalangan muda terpelajar. Khadijah ra. mewakili kalangan wanita pengusaha. Zaid bin Haritsah ra. mewakili kalangan tenaga kerja (khadam). Bilal bin Rabah ra. mewakili kalangan mantan budak. Ibnu Shihab Ar-Rumi mewakili belahan dunia barat (Romawi). Salman Al-Farisi mewakili belahan dunia Timur (Persia). Utsman bin Affan ra. mewakili kalangan saudagar. Asma binti Abu Bakar ra. mewakili kalangan aktivis perempuan. Aisyah binti Abu Bakar R. A. mewakili kalangan wanita terpelajar. Umar bin Khattab ra. mewakili kalangan elit dan pejabat publik. Usamah bin Zaid R. A. mewakili anak-anak belasan tahun (remaja lingkungan). Abdullah bin Umar ra. mewakili kalangan remaja terpelajar. Hasan bin Tsabit ra. mewakili kalangan pujangga seniman dan penyair.


Zaid bin Tsabit ra. mewakili kalangan muda ahli bahasa. Mus’ab bin Umair ra. mewakili kalangan elit muda perkotaan. Abdullah bin Ummi Maktum ra. mewakili kalangan tunanetra. Rafi’ bin Khudaij R.A mewakili olahragawan cabang memanah. Samrah bin Jundab mewakili olahragawan cabang gulat. Rufaidah R.A, mewakili kalangan dokter dan perawat (tenaga medis). Al-Habbab ibnu Mundzir ra. mewakili kalangan militer dan ahli strategi perang. Nuaim bin Mas’ud ra. mewakili kalangan ahli rekayasa dan menejemen konflik. Ummu Aiman ra. mewakili wanita pekerja dan Ibu Rumah Tangga. Abdullah ibnu Mas’ud ra. mewakili kalangan Qurra’ (Qari Al-Qur’an)


Daftar panjang nama sahabat-sahabat terkemuka yang me-wakili kurang lebih 24 segmen atau lapisan masyarakat yang ada, merupakan gambaran keberhasilan da’wah dan tarbiyah di masa Rasulullah Saw. yang menyentuh hampir semua segmen yang ada di masyarakat. Keberhasilan Rasulullah Saw. dalam merekrut dan mengkader para sahabat dari berbagai segmen tersebut menunjukkan pula keyakinan beliau bahwa semua segmen sosial memiliki potensi dan peluang kontribusi yang sama dalam melapangkan jalan da’wah menuju kemenangan. Keikutsertaan semua segmen sosial itu merupakan daya dukung dan sebuah sinergi kekuatan bagi perjuangan menegakkan kebenaran. Selain itu juga menyebabkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif yang kemudian melahirkan kekuatan kolektif yang pada akhirnya menandai lahirnya sebuah peradaban baru dengan perubahan paradigma, sikap dan perilaku.

Ajaran Islam yang integral dan terpadu (syamil mutakamil) di masa Rasulullah tidak hanya dipahami dalam tataran normatif-konseptual, tetapi juga dipraktekkan pada tataran implementatif-operasional, sehingga jangkauan operasional da’wah beliau merambah hampir ke semua segmen masyarakat. Tidak ada satu segmen pun di masyarakat yang luput dari fokus bidikan da’wah dan tarbiyah, mulai dari kalangan muda hingga orang tua, dari anak-anak hingga remaja, dari budak hingga orang merdeka, dari fakir miskin hingga saudagar kaya, dari pekerja kasar hingga tenaga ahli, dari masyarakat biasa hingga elit politik serta olahragawan hingga seniman.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah telah, berhasil secara optimal memenuhi hak-hak tarbiyah semua orang, karena setiap orang berhak ditarbiyah agar memiliki pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Islam secara baik tanpa memandang segmen sosial dari mana ia berasal. Seperti halnya kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa, maka tarbiyah adalah hak mendasar pula bagi setiap manusia. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. diutus untuk menyampaikan risalah Allah Swt dalam rangka memenuhi hak-hak seluruh manusia untuk memperoleh kebenaran seperti termaktub dalam Qs. Saba’ ayat 28:

“Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tapi kebanyakan manusia tiada mengetahui"

Filosofi Tarbiyah

Secara harfiah kata-kata tarbiyah tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi kata-kata tersebut secara tersirat ada dalam istilah ribbiyyuna katsir (Qs. Ali Imran 3: 146). Ribbiyyun menunjukkan hasil dari sebuah proses tarbiyah yakni orang-orang yang tertarbiyah. Mereka telah mendapatkan arahan rabbani secara intensif sehingga wawasan dan pemahannya menjadi tumbuh dan berkembang, kepribadiannya terbentuk dan ter-shibghah (terwarnai) dengan nilai-nilai Islam. Selain itu fikrah-nya juga terisi dengan pengetahuan yang mendalam mengenai dasar-dasar keislaman, baik masalah akidah, ibadah dan muamalah serta akhlak. Kesemuanya itu akhirnya membuat peserta-peserta tarbiyah tersebut memiliki mentalitas yang kuat, tidak mudah takut(maa wahanu) serta tidak mudah lemah dan menyerah (maa dha’ufu) dalam menghadapi berbagai rintangan di jalan da’wah. Bahkan sebaliknya tidak tinggal diam (wa mastakaanu) dan senantiasa menampakkan militansi juang yang tinggi dan kesabaran yang produktif di jalan da’wah.

Sekilas seolah tak ada perbedaan antara istilah da’wah dan tarbiyah, tetapi sebenarnya ada perbedaan spesifik di antara kedua istilah tersebut. Pengertian da’wah dalam Al-Qur’an lebih bersifat umum yakni berbentuk tabligh dan ta’lim, hanya menyampaikan dan mengajarakan saja, sehingga bersifat satu arah. Sementara pengertian tarbiyah menunjukkan adanya intensitas pembinaan, hubungan, evaluasi dan komunikasi dua arah.

Perbedaannya memang lebih pada masalah teknis operasionalnya, sehingga mungkin dapat dikatakan bahwa tarbiyah adalah da’wah khusus karena sudah lebih menukik dan mendalam. Demikian pula halnya dengan pengertian da’i dan murabbi. Tugas da’i lebih merupakan upaya membuka wawasan, mengetuk pintu nurani dan masih bersifat temporer baik dari segi frekuensi maupun keterikatan hubungan dengan orang-orang yang dida’wahinya, serta bersifat satu arah dalam hal komunikasi. Sedangkan murabbi memiliki frekwensi dan keterikatan hubungan yang lebih permanen dan menggunakan komunikasi dua arah sehingga terjadilah proses simbiosis mutualisme. Di satu sisi seorang murabbi memberikan output tarbawi namun di sisi lain tetap membutuhkan input tarbawi dari para mutarabbinya. Oleh sebab itu terdapat arahan kuat dari Allah Swt. agar kita menjadi rabbaniyyin (orang-orang tertarbiyah) yang selalu bersemangat mengajarakan Al-Qur’an dan juga mengkaji al Qur’an secara intensif (Qs. Ali Imran 3: 79).

Secara psikologis, paling tidak di Indonesia, memang ada perbedaan antara da’i dan murabbi. Setiap murabbi pasti juga da’i, tetapi tidak semua da’i-da’i menjadi murabbi. Tolok ukur perbedaan nya ada pada tahapan dan cara kerja serta hasilnya.

Pengertian da’i di Indonesia baru sampai pada tahapan membabat hutan dan menyemai benih tanaman, tetapi belum menindaklanjutinya dengan program-program berkesinambungan yang akan merawat benih tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pohon berkualitas yang akarnya menghujam kuat ke dalam perut bumi serta produktif berbuah setiap saat (Qs. Saba’ 14: 24). Jadi da’i belum sampai pada tahapan merubah akhlak dan membentuk kepribadian.

Sebagian da’i di Indonesia dilihat dari rara kerjanya, menunjukkan kecenderungan menerapkan sistim one man show atau single fighter. Mereka memiliki aspek figuritas yang dominant sehingga orang-orang yang di bawah pengaruh da’wahnya lebih kuat komitmen figuritas yang emosional-kharismatik (Al-Iltizam al-Wijahy) dari pada komitmen nilai (Al-Iltizam as-syar’i wal ma’nawy) yang rasional. Kesan feodalisme masih sangat kental mewarnai hubungan sebagian da’i dengan ummatnya sehingga justru melestarikan hirarki sosial, kultus individu dan fanatisme figure meskipun dibungkus dengan kemasan Islam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum para da’i di Indonesia baru sampai pada taraf menyemarakkan arena da’wah dengan aneka orasi dan retorika. Jadi belum sampai pada usaha merubah secara revolusioner sebagaimana semangat perubahan yang mewarnai generasi pertama di masa Rasulullah Saw.

Sedangkan sebaliknya seorang murabbi, lebih menekankan pada komitmen nilai dan bukannya komitmen figuritas, sehingga tidak berlaku bertumpu hanya pada satu tokoh yang kharismatis. Selain itu murabbi lebih memberikan perhatian pada proses tarbiyah dan mengembangkan semangat dialog dan partisipasi aktif dalam kerangka amal jama’i.

Rasulullah Saw. dan para sahabat lebih berperan sebagai murabbi tinimbang da’i, oleh karena itu tidak seorang sahabat pun yang menyandang gelar da’i kondang. Namun kerja da’wah mereka begitu nyata dan produktif dalam hal mentarbiyah, membina dan membentuk pribadi, rumah tangga dan masyarakat yang islami.

Strategi da’wah one man show atau single fighter tidak pernah diterapkan Rasulullah Saw. dalam berda’wah dan berjuang. Beliau sadar benar tidak mungkin secara sendirian memenuhi hak tarbiyah semua orang dari berbagai segmen di masyarakat. Oleh karena itu beliau tidak membiarkan peran sebagai murabbi tertumpu pada dirinya. Beliau menanamkan semangat dan mendis-tribusikan tugas-tugas sebagai murabbi kepada para sahabat.

Para sahabat lalu sesuai dengan kafa’ahnya masing-masing aktif melakukan rekrutmen tarbawi, Abu Bakar ra misalnya sukses merekrut dan mentarbiyah orang-orang yang berada di segmen yang sama dengannya yakni kalangan tokoh dan saudagar kaya. Mush’ab bin Umair R,.A. produktif mentarbiyah kalangan elit politik Yatsrib. Kemudian Abdullah bin Ummi Maktum ra. menunjukan prestasinya dalam mentarbiyah lapisan masyarakat kelas bawah. Dan yang tak terduga mantan budak Khabbab bin Al-Arath diam-diam berhasil mentarbiyah adik Umar bin Khattab yakni Fatimah binti Khattab dan suaminya Said bin Zaid. Secara tidak langsung Fatimah menjadi sebab masuk Islamnya Umar bin Khattab ra.

Hak dan Kewajiban Tarbiyah

Umumnya setiap orang sangat senang dan merespon dengan antusias bila hak-haknya dibicarakan dan diperjuangkan. Apa-lagi bila hak-hak yang ditawarkan tersebut berbentuk materi, maka semua tangan akan menjulur ke depan, berlomba-lomba lebih dahulu mendapatkan haknya. Namun tidak demikian hal-nya dengan hak tarbiyah. Tidak semua orang mau menerima-nya apalagi sampai memintanya. Oleh sebab itu diperlukan upaya penyadaran dan pengkondisian agar setiap orang dengan senang hati mau menerima dan bahkan menuntut haknya untuk ditarbiyah yakni hak untuk mendapatkan pengarahan yang benar dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Islam.

Bila di satu sisi tarbiyah adalah hak semua orang, maka di sisi lain harus dipahami bahwa tarbiyah merupakan kewajiban bagi sebagian orang. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan karunia kebaikan dari Allah berupa hidayah dan kelapangan dada untuk menerima dan menjalankan nilai-nilai islam dalam kehidupan. Dan bukti rasa syukur kepada Allah atas segala karunia dan hidayah yang diberikan-Nya, maka ia harus berbuat baik kepada orang lain dengan cara mentarbiyahnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Qashas (28):77

" Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu" (Qs: 28; 77)

Jadi tarbiyah adalah hak dan sekaligus kewajiban. Setiap muslim harus berusaha menjadi orang-orang yang rabbani yang senantiasa berupaya memperoleh hak-haknya dan kemudian menunaikan kewajibanya mentarbiyah orang lain (bima kuntum tu’allimuunal kitaaba wa bimaa kuntum tadrusuun).

Dan tidak ada satu alasan pun untuk mengurangi hak-hak tarbiyah seseorang, seandainya ia seorang ahli maksiat. Dr. Abdul Karim Zaidan di dalam kitabnya Ushuludda’wah, me-nuturkan bahwa mereka tetap harus dipandang dengan penuh rasa sayang dan belas kasihan serta dipenuhi hak-hak tarbi-yahnya agar suatu saat menjadi insyaf. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam bersikap kepada Ikrimah bin Abi JahaL Ikrimah selama ini dikenal sebagai penjahat pe-rang yang tidak pernah absen di barisan terdepan dalam me-merangi umat Islam. la memiliki dendam kesumat dan selalu ingin melampiaskannya dengan rara memerangi umat Islam, karena ayahnya Abu Jahal terbunuh di dalam Perang Badar.

Tetapi ketika Fathu Mukkah, ia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw. dengan mengendarai kuda. Sesampainya di ke-mah Rasulullah ternyata ia disambut oleh Rasulullah dengan penuh kehangatan dan kasih saying," Marhaban Birrakibil Mu-hajir" (Selamat datang wahai si penunggang kuda yang hendak berhijrah – minal jahalah ilal islam).

Perlakuan Rasulullah yang simpatik dan penuh kelembutan membuat Ikrimah bersimpuh di pangkuan tarbiyah Rasulu-llaah Saw. la bahkan menjadi berubah 180 derajat dan mengisi lembaran-lembaran kehidupannya dengan kebajikan-kebaijkan yang luar biasa. la menjadi penulis wahyu yang terabadikan di dalam kitab-kitab tafsir hingga saat ini dan mendapatkan karunia syahadah dalam perang Yarmuk di masa kekhalifahan Abu bakar As-Siddiq ra.

Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengabaikan hak-hak tarbiyah seseorang, hanya karena ia dianggap tidak punya harapan lagi. Atau mendahului kehendak Allah dengan meng-anggap bahwa orang tersebut sudah ditakdirkan untuk binasa dan diadzab oleh allah Swt. Bukankah Rasulullah Saw. selalu berusaha denganmujahadah lahiriyah dan batiniyah agar dapat memenuhi hak-hak tarbiyah kaum Quraisy termasuk kaum elitnya, sehingga beliau pernah secara khusus berdo’a agar Al-lah berkenan kiranya memberi hidayah kepada salah satu di antara dua Umar,

"Allahumma a’izzal biahadil umarayn" (Ya Allah muliakanlah Islam dengan dua Umar, Umar bin Khattab dan Amru’ bin Hisyam (Abu Jahal))". Dan do’a beliau dikabulkan dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab yang menandai awal kebangkitan da’wah Islam.

Rasulullah Saw. bahkan tetap menunjukan semangat men-tarbiyah orang lain meskipun usianya sudah berangkat senja. Bukankah beliau mulai mentarbiyah para sahabatnya ketika usianya sudah berkepala empat?

Oleh sebab itu jangan sampai ada anggapan bahwa semangat mentarbiyah adalah semangat masa lalu atau masa muda ketika masih menjadi pelajar atau mahasiswa. Sehingga ketika sudah berkeluarga, usia bertambah dan disibuki dengan aktivitas men-cari mai’syah dan mengurus keluarga, kewajiban mentarbiyah pun ditinggalkan.

Seyogyanya kemahiran mentarbiyah tidak boleh ditinggalkan begitu saja karena para sahabat saja di usia senjanya masih terus mengasah ketrampilannya memanah. Ketika ditanya oleh sese-orang,

“Mengapa Anda setua ini masih saja terus berlatih memanah?” ternyata jawabannya sungguh mencengangkan.

“Aku merasa berdosa kalau kemahiran yang pernah kudapatkan di saat Rasulullah masih ada, hilang begitu saja karena telah aku tinggalkan."

Selain merupakan kewajiban, kegiatan mentarbiyah adalah suatu usaha agar dapat memiliki ma’dzirah (alasan untuk berlepas diri) bila kelak dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Yakni telah dilakukan satu usaha optimal untuk mengajak orang lain kepada kebenaran sesuai dengan manhaj yang dia-jarkan Rasulullah Saw. Kewajiban seorang murabbi hanyalah mentarbiyah, sementara hak memberi hidayah sepenuhnya di tangan Allah Swt.

Tidak seorang pun berhak mendahului kehendak Allah bahwa orang atau kelompok tertentu tidak perlu lagi dida’wahi atau ditarbiyah kerena dianggap layak atau sepantasnyalah dibi-nasakan dan diadzab oleh Allah Swt. Seseorang yang paham benar tentang urgensi mentarbiyah tidak akan mudah berputus asa dan mendahului kehendak Allah. Sebaliknya ia memiliki motivasi yang semakin kuat untuk mentarbiyah agar memiliki alasan berlepas diri untuk pertanggung jawaban di hadapan Allah Swt. kelak. Sebagaimana firman allah Swt. dalam Qur’an surat Al-A’raf: 164.

"Dan (ingatlah) ketika suatu umat di anatara mereka berkata, "Me-ngapa kamu menasehati satu kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa" (Qs. Al Isra’ 17: 164).

Kaderiasi Segmentatif dengan Studi Kasus Segmen Wanita.

Syumuliatul islam (integralitas Islam) tidak hanya tampak dari kekomprehensifan ajarannya tetapi juga terlihat dari keleng-kapan segmen pendukungnya. Hal itulah yang menyebabkan Islam dapat berkembang dan memiliki tatanan social-politik yang kuat. Di masa Rasulullah Saw. seluruh segmen masyarakat diberdayakan agar dapat memberikan kontribusi bagi kejayaan Islam.

Misalnya di segmen ketentaraan, Rasulullah Saw. memper-kokoh basis militernya dengan program alih teknologi persen-jataan perang dari negara lain. Beliau mengutus dua orang sahabatnya untuk mempelajari teknologi perakitan senjata jenis manjanik dan sekaligus kendaraan perangnya (dabbabah).

Perhatian Rasulullah Saw. yang besar terhadap segmen keten-taraan tidak membuat beliau berkurang perhatiannya terhadap segmen-segmen lainnya, misalnya segmen kewanitaan. Islam memberikan kesetaraan antara laki-laki dan wanita dalam ke-taqwaan, peluang memberikan kontribusi amal (Qs. Ali Imran 3: 195) serta hak mendapatkan tarbiyah secara optimal karena memiliki hubungan kemitraan yang dilandasi keimanan dan amal shaleh (QS. At Taubah 9: 71).

Rasulullah Saw. memberikan perhatian khusus untuk men-tarbiyah segmen wanita karena menyadari peran dominan wa-nita dalam mentarbiyah anak-anaknya dan kaumnya. Bahkan dalam sebuah adigium dikatakan wanita adalah madrasah, seko-lah yang mendidik sebuah generasi:

“Ibu adalah madrasah. Bila Anda memepersiapkannya dengan baik maka berarti. Anda telah mempersiapkan sebuah generasi yang baik.”

Isteri-isteri Rasulullah Saw. (ummahatul mukminin) dan para shahabiyah telah membuktikan perannya sebagai madrasah yang senantiasa mentarbiyah anak-anaknya dengan shibghah Islam. Bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada anak-anak sahabat yang tidak mewarisi nilai-nilai kebaikan dari orang tuanya.

Sebut saja misalnya Usamah bin Zaid yang dibesarkan dan dididik oleh ibundanya Ummu Aiman ra. la menjadi panglima perang dalam usia 18 tahun. Begitu pula Abdullah bin Zubair yang akhirnya menemui syahadah dalam mempertahankan prinsip, dididik dengan baik oleh ibunya, Asma binti Abu Bakar ra. Atau Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah, seorang Khalifah Bani Umayah benar-benar mewarisi keutamaan akhlak dan perangai kakeknya Umar bin Khattab ra.. Ibu Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gadis penjual susu yang jujur yang kemu-.dian dinikahi oleh Ashim bin Umar bin Umar atas anjuran ayahnya, Umar bin Khattab.

Peran shahabiyah dalam mentarbiyah anak-anaknya sangat besar andilnya dalam melahirkan sebuah generasi yang tetap menjaga orisinalitas Islam (ashalah Islamiyah) yang kemudian dikenal sebagai generasi tabi’in, dan tabiit-tabi’in.

Mengapa para shahabiyah yang sekaligus merupakan istri shahabat-shahabat mulai Rasulullah mampu melakukan kerja besar seperti itu? Ternyata jawabannya adalah karena mereka tidak sekadar menanti atau menerima hak-hak tarbiyahnya, melainkan meminta dan menuntut langsung hak-hak tarbiyah mereka ke Rasulullah Saw. Sebagaimana beliau memenuhi hak-hak tarbiyah para shahabat.

Dalam satu riwayat dituturkan para istri shahabat suatu ketika merasa iri kepada suami-suaminya karena selalu menda-patkan wawasan dan pengetahun yang baru dari Rasulullah Saw. Mereka lalu menghadap Rasulullah dan memohon pada beliau agar mereka mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan para suami mereka.

"Ya Rasulallah, ij’al lanaa yauman au yaumain tu’allimanaa sya-raa’ial Islaam" (Wahai Rasulullah, berikanlah kesempatan dan waktu buat kami, satu atau dua hari untuk mendapatkan pe-ngajaran syariat Islam darimu), tuntut mereka dengan penuh semangat.

“Ijtimi’na Yaumi kadza wa kadza" (berkumpullah kalian pada hari ini dan ini), demikian Rasulullah Saw. langsung merespon kesungguhan dan semangat mereka dalam menuntut pemenuh-an hak-hak tarbiyah mereka. Wallahu a’lamu bisshawab.

Sumber :
Drs. Muhammad Said
http://beranda.blogsome.com/2006/05/02/tarbiyah-hak-semua-orang/
2 Mei 2006

Sumber Gambar:
http://sarahtidaksendiri.files.wordpress.com/2009/08/al-quran.jpg

Tarbiyah Islamiyah itu Nikmat


Islam sudah memiliki sistem yang lengkap dan sempurna di segala aspek kehidupan, namun sering pula sistem yang ada itu tidak dikelola dengan benar oleh sumber daya manusia yang ada, bahkan lebih parah lagi sistem yang sudah benar kemudian diubah menjadi ladang maksiat oleh manusia. Maka hal yang perlu diperbaiki selanjutnya adalah manusianya. Untuk memperbaiki manusia menjadi manusia yang lebih baik ini maka perlu dilakukan sebuah cara yang efektif mencontoh Rasulullah saw dan para sahabat ra. Cara itu tak lain dan tak bukan adalah tarbiyah islamiyah.

Tarbiyah adalah cara yang paling ideal untuk berinteraksi dengan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk terjadinya proses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik. Saya ingin menggambarkan tarbiyah ini ibarat sel kehidupan. Tubuh manusia terdiri dari sel-sel kecil yang kemudian menjadi jaringan dan akhirnya terbentuk tubuh yang utuh. Begitu pula tarbiyah adanya. Ia merupakan sebuah proses mendidik dan membina manusia dengan sistem sel, artinya melalui kelompok-kelompok kecil kemudian mampu menghasilkan sosok-sosok tangguh yang selanjutnya dari sel kecil ini akan membentuk keluarga kemudian masyarakat dan akhirnya menjadi satu tubuh yang kuat yang tergabung di dalam peradaban islam.

Tarbiyah adalah cara yang dilakukan Rasulullah saw kepada para sahabatnya hingga kemudian islam meraih masa kejayaan yang gemilang di tangan generasi unik hasil tarbiyah rasulullah saw ini. Sementara Rasulullah saw sendiri ditarbiyah langsung oleh Allah melalui malaikat jibril dan Al-quran. Tarbiyah Rasulullah saw dahulu dilakukan di rumah Arqam bin Abi Arqam secara kontiniu. Dari tarbiyah itulah muncul karakter Umar bin Khattab ra yang dulunya seorang preman kampung kemudian setelah ditarbiyah akhirnya mampu menjadi seorang khalifah yang memiliki pemahaman islam yang utuh. Seorang Bilal bin Rabah yang dulunya hanya seorang budak kemudian karena proses tarbiyah ini menjadi seorang duta yang mampu mengislamkan sebuah kampung. Seorang mush’ab bin umair ra yang dulunya seorang konglomerat terkaya dan parlente kemudian menginfakkan hartanya untuk kebutuhan dakwah islam. Subhanallah. Sebuah proses yang unik bukan?

Lalu bagaimana sebenarnya tarbiyah itu? Saya mengutip kata-kata dari sebuah buku tentang tarbiyah.

“Tarbiyah adalah suatu keniscayaan. Bila umat islam menginginkan kejayaan kembali, tiada cara lain selain menempuh jalan ini. Dengannya Rasulullah mendidik para sahabatnya menemukan kembali jati diri dan kepribadiannya. Dengannya rasulullah mengangkat derajat hidup manusia. Dengannya rasulullah membukakan mata para penguasa akan kecilnya nilai kekuasaannya dibanding kekuasaan Allah swt. Jalan ini adalah jalan tercepat-walau sebagian kaum muslimin merasakan kelambatannya-dibanding dengan jalan-jalan yang lain untuk mengembalikan ‘izzul islam wal muslimin. Di dalam tarbiyah ada mekanisme tawashau bil haq wa tawashau bish shabri. Ada nuansa silaturahmi, dan yang penting ada aktivitas transfer ilmu dan pewarisan nilai. Dan ini tidak terjadi dalam aktivitas-aktivitas yang lain.”

Lalu apa yang membuat tarbiyah itu menjadi nikmat? Ya, saya mengatakan tarbiyah ini nikmat karena memang kenikmatan lah yang dirasakan di dalamnya. Bayangkan saja, dalam sebuah kelompok hanya ada beberapa orang saja dengan seorang murobbi atau pembimbing atau sama halnya seperti guru, tetapi bedanya dengan sekolah adalah bahwa di dalam kelompok tarbiyah ini, semua elemen adalah sama-sama belajar, bukan belajar mengajar. Hampir sama dengan sistem microteaching di mana setiap anggota mendapatkan perlakuan intensif dalam setiap pertemuan. Setiap anggota kelompok memiliki hak yang sama untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, saling memberikan ilmu yang di dapat sehingga terjadi pengisian ruang-ruang kosong di setiap sisi.

Pembahasan di dalam kelompok ini pun tidak mutlak melulu masalah bidang ilmu agama saja melainkan bagaimana setiap anggota bisa melejitkan potensi dirinya sehingga potensi itu dapat diarahkan untuk kemajuan islam. Misalnya bagi mereka yang memiliki latar belakang keilmuan seorang dokter, maka ia akan diarahkan menjadi dokter yang islami dalam setiap sisi. Atau jika ia memiliki latar belakang keilmuan di bidang sosial politik, maka ia akan diarahkan menjadi seorang politikus yang islami dan amanah. Yang lain lagi misalnya seorang engineer maka ia akan diarahkan menjadi seorang teknolog yang islami pula. Sehingga jika setiap kelompok dengan latar belakang manusia yang berbeda ini dikumpulkan, maka potensinya akan mampu membangun umat ini.

Apalagi kenikmatannya? Ruh ukhuwah islamiyah yang ada di setiap elemennya. Dari kelompok ini akan tumbuh rasa cinta dan kasih sayang antar sesama anggota. Kemudian dengan cinta ini mereka akan berhimpun menjadi satu dalam sebuah amal jama’i. Sungguh indah saudaraku. Bayangkan saja seseorang yang dulunya tidak kita kenal, setelah terhimpun di dalam tarbiyah, ia adalah orang pertama yang menghulurkan tangannya saat kita kesulitan. Mereka pula yang mengingatkan kita kala kita lengah dan lalai. Hingga di setiap pertemuannya selalu ada doa pengikat hati yang dilantunkan dan kata-kata “Aku mencintaimu karena Allah, ukhti” yang terucap dari lisan-lisan mereka. Subhanallah.

Kenikmatan yang lain lagi adalah motivasi dan bimbingan untuk selalu memperbaiki diri, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, ilmu dan sebagainya. Dalam tarbiyah ada kontrol terhadap ibadah-ibadah kita sehingga jika ibadahnya mulai menurun, akan mendapat motivasi kembali untuk meningkatkannya. Perbaikan akhlak di segala lini pun menjadi agenda dari tarbiyah. Bagaimana seseorang memiliki akhlak yang benar sehingga setiap orang di sekitarnya akan merasakan keindahan akhlaknya. Lalu peningkatan wawasan dan ilmu juga menjadi salah satu kenikmatan tersendiri di dalam tarbiyah. Ada juga ajang curhat di dalamnya, hal ini ditujukan agar setiap permasalahan anggota bisa diselesaikan. Jangan khawatir, karena dalam satu kelompok hanya ada orang-orang yang sejenis dengan kita, kalau bagi kelompok laki-laki ya hanya laki-laki yang ada, dan sebaliknya bagi perempuan, hanya ada perempuan saja di dalamnya. Jadi tak perlu ragu dan sungkan untuk berekspresi dan mengexplore apa yang ada di hati kita.

Selain pemenuhan akal dan ruhiyah, tarbiyah juga memperhatikan sisi jasmani. Maka jangan heran jika suatu saat saudara akan melihat orang-orang yang sedang asyik bertafakur alam dan melakukan semacam outbond atau wisata ke tempat-tempat lain di alam terbuka, mereka biasa menyebutnya Rihlah atau perjalanan. Rihlah ini merupakan refreshing di dalam tarbiyah sekaligus pembinaan jasad. Olahraga, games, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik ada di dalamnya. Melalui rihlah kita juga bisa mempererat ukhuwah dengan saudara yang lain. Indah bukan?

Tarbiyah islamiyah bukan hanya proses satu atau dua tahun saja seperti halnya pendidikan SD, SMP, dan seterusnya, melainkan ia adalah proses seumur hidup hingga kita dijemput oleh kematian. Bahkan jika kita sudah menikah dan sudah tua renta pun tarbiyah adalah sebuah keniscayaan. Dari rahim tarbiyah ini pula terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah jika di antara anggotanya menikah. Eits, tunggu dulu, harus diingat bahwa tujuan ikut tarbiyah bukan semata-mata karena ingin mendapat pasangan yah, tetapi kalau suatu saat kita mendapatkan jodoh yang shaleh dan shalehah melalui tarbiyah ini, itu namanya rezeki, hehe

Sebenarnya masih banyak lagi kenikmatan yang ada di dalam tarbiyah, tapi saya tidak akan mengungkapkan semuanya di sini. Karena saya tidak ingin bermuluk-muluk kepada orang lain untuk menjelaskan tentang tarbiyah. Jika saudara ingin mengetahui seluk beluk di dalamnya, silahkan ikut di dalamnya. Mereka-mereka yang ada di dalam proses tarbiyah ini dengan wajah ceria dan tangan terbuka akan menyambut saudara untuk sama-sama berusaha memperbaiki diri dan umat ini.

Sumber :
http://www.frenky.web.ugm.ac.id/hanan/wordpress/?p=94
Sumber Gambar:
http://suryaningsih.files.wordpress.com/2008/01/tilawah.jpg

Urgensi Tarbiyah Ruhiyah

Setiap manusia dibekali Allah SWT tiga potensi untuk menjalani kehidupan. Ketiganya sangat berpengaruh bagi kebaikannya dalam menjalani kehidupan. Ketiganya ibarat sub system yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga potensi manusia itu adalah ruh, akal, dan jasad.

Agar ketiganya berfungsi dengan baik, tentu harus dijaga, dibina, dan dilatih. Bila tidak, maka ketidakseimbangan hidup, dis-orientasi, bahkan kegagalan hidup akan mungkin dihadapi oleh seseorang yang tidak melakukan penjagaan, pembinaan, dan pelatihan terhadap ketiganya. Akal harus dijaga, diberi makanan, dibina, dan dilatih agar kita dapat berpikir dengan jernih; dapat membedakan mana yang haq dan mana yang bathil; dan juga dapat mengalami peningkatan ilmu dan wawasan.

Jasad harus ditempa, dilatih, diberi makanan yang halal dan thayib, agar tetap sehat; sehinga kita bisa melakukan setiap perbuatan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula halnya dengan ruh. Ruh kita membutuhkan nutrisi yang sehat agar ruhiyah (spiritual) kita tetap mantap; selau mendorong pada hal-hal yang bernuansa akhirat. Kekuatan ruhiyah memegang peranan penting dalam menyelamatkan seorang muslim dari jeratan dan tipu daya syetan.

Kekuatan ruhiyah yang didasarkan pada kekuatan keimanan, keikhlasan, kesabaran, dan sikap optimis adalah bekal utama seorang muslim dalam menghadapi musibah, ujian, dan fitnah kehidupan. Maka, jangan biarkan ruhiyah kita mengalami penurunan. Jauhkanlah diri dari segala aktivitas yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruhiyah, melemahnya iman, dan melunturnya ketaqwaan.

Rasulullah SAW telah memprediksi lemahnya aspek ruhiyah pada masa sekarang ini. Hal ini beliau sampaikan dalam sebuah hadits kepada para sahabatnya. Sabdanya, "Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan pada kalian. Tapi, aku khawatir dunia diberikan secara luas kepada kalian, sebagaimana dulu diberikan kepada umat-umat sebelum kalian. Lalu, kalian bersaing memperebutkannya, persis seperti mereka. Akibatnya, dunia membinasakan kalian, seperti dulu membinasakan mereka." (HR. Muttafaq 'Alaih).

Untuk itu, kita harus menyadari bahwa terlalu asyik bercengkerama dengan 'dunia' hanya akan membuat ruh kita kering. Sehingga kita perlu melakukan penyucian ruhiyah dan mengokohkannya. Dan tentu saja hanya dengan tarbiyah (pembinaan) yang kontinyu, ruh kita akan kembali terisi dengan pancaran nur ilahi.

Mengalami kebugaran, semangat yang membara dalam melaksanakan qiyamul lail, shaum sunnah, tilawah, bersedekah, dan amal shalih lainnya. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hadiid [57] : 28). [Swadaya-35]

Sumber :
Ahmad Kosasih
http://arsip.kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Cetak&sid=216
26 Januari 2006

Tarbiyah Dzatiyah

Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Karena misi dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia (Al-Anbiya’: 107). Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar mereka meraih hidayah Allah. Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah. Paling tidak, semua manusia dapat merasakan rahmat Islam. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh kepribadian dai dan aktivis dakwah.

Aktivis dakwah yang memikul tugas mengembangkan ajaran Islam ke segenap pelosok bumi seyogianya adalah orang yang mampu meningkatkan integritas diri dari masa ke masa. Peningkatan diri aktivis dakwah selaras dengan perkembangan dakwah. Peningkatan integritas diri secara mandiri inilah yang disebut dengan tarbiyah dzatiyah.

Kemampuan tarbiyah dzatiyah menjadikan dai mampu bertahan dalam berbagai ujian dan cobaan dakwah. Ia tidak futur (malas dan lesu), tidak kendur semangat dakwahnya, pemikirannya tidak jumud dan tidak akan bimbang dan ragu menjawab berbagai tuduhan miring serta yang sangat diharapkan dari efek tarbiyah dzatiyah adalah seorang dai mampu menyelesaikan persoalan yang menghadangnya.

Dengan sikap itu aktivis dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atau qararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya. Dan dapat mengambil keputusan yang tepat. Utusan-utusan Rasulullah saw. telah membuktikan dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapat bertahan sekalipun jauh dari Rasulullah saw. dan komunitas muslim lainnya. Ja’far bin Abi Thalib di antaranya. Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun mereka sangat merindukan berkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya, mereka dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukup lama. Hingga Rasulullah saw. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulang ke Madinah. Beliau menyatakan, “Aku bingung apa yang membuat senang diriku, apakah karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dari Habasyah.”

Demikian pula Mush’ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mush’ab sebagai guru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan aktivisnya. Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan menjadi mercusuar peradaban Islam.

Begitulah kepribadian aktivis dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Lantaran tarbiyah dzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapat diselesaikan dengan nilai cumlaude. Sebaliknya aktivis dakwah yang tidak mampu meningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama ‘Al-‘askarul ladzi tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati, aktivis yang tidak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalam kerja dakwah’.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)

Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Al-Mutaharikah (Kepribadian Aktivis Islam)

Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam. Bahkan Rasulullah saw. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islam dalam mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit and profer-test bagi mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yang diutus ke suatu tempat, Nabi saw. mempertimbangkan kemampuannya dalam pengembangan integritas dirinya.

Hal ini sebagaimana yang dipertanyakan Rasulullah saw. pada Muadz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman. “Wahai Muadz, bila kamu berada di tempat yang baru nanti, jika menemukan suatu persoalan apa yang akan kamu putuskan?” Muadz menjawab, “Aku akan putuskan berdasarkan Kitab Allah.” Rasulullah saw. pun melanjutkan, “Bila tidak kamu temukan pada Kitab Allah, dengan apa kau putuskan?” Jawab Muadz, “Aku akan tetapkan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Nabi saw. kemudian menanyakan kembali, “Bila tidak juga kamu dapati di dalamnya, apa yang akan kamu lakukan?” Muadz menjawab, “Aku akan putuskan dengan akal pikiranku (ijtihadku).” Ternyata jawaban Muadz sangat memuaskan hati Rasulullah saw. Malah beliau memandang bahwa kualitas Muadz sudah memadai untuk mengemban tugas mulia tersebut.

Kapabilitas yang semacam itu diharapkan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga ia tidak selalu menyerahkan masalah itu pada qiyadah dakwah ataupun aktivis lainnya. Dengan kemampuan itu aktivis dakwah tidak gamang dalam menyikapi berbagai urusan yang terkait dengan tanggung jawabnya. Karena tanpa sikap itu persoalan dakwah akan bertambah pelik dan menambah beban qiyadah. Telah sering kita dengar qiyadah dakwah mengarahkan agar aktivis tidak selalu mengandalkan jawaban dari pusat atau menunggu bayanatnya. Melainkan mereka perlu menyikapi dengan cepat apa yang mesti diambil sikapnya untuk menuntaskan suatu permasalahan.

Meski demikian kita pun perlu melihat koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena ini pun akan menimbulkan kekisruhan dalam struktural kendali dakwah. Seperti sikap Hudzaifah ibnul Yaman sewaktu ditugaskan Rasulullah saw. masuk ke barisan musuh. Hudzaifah mendapati Abu Sufyan sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu Hudzaifah mampu untuk membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah saw. bahwa tugasnya waktu itu adalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarinya kepada Rasul. Sehingga ia urung untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya.

Karena itu perlu menempatkan secara imbang terhadap permasalahan ini. Peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah. Yang lebih berbahaya lagi bagi aktivis dakwah adalah bila tidak memiliki keduanya. Syaikh Hamid ‘Asykariyah menegaskan, “mereka yang sudah tidak punyai kebaikan (peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah), mereka telah kehilangan kesadaran terhadap kemuliaan dakwah dan kepunahan perilaku taat pada qiyadah. Siapa yang telah kehilangan dua hal ini, maka mereka tidak ada gunanya tetap berada dalam barisan dakwah bersama kita.”

Ada’u Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)

Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapat merealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah, seminar, mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhaj dakwah yang begitu banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyah regular. Karena keterbatasan alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalam menyelesaikan tuntutan manhaj. Maka tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.

Oleh karena itu perlu dipahami dengan benar pada setiap aktivis dakwah agar dapat melakukan tarbiyah dzatiyah dalam dirinya. Hal ini akan sangat membantu mengaplikasikan nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Dan dapat mencapai arahan manhaj yang menjadi acuan dakwah untuk mewujudkan dai yang siap meringankan perjalanan dakwah ini. Bila masing-masing aktivis sibuk untuk merealisasikan manhaj dalam dirinya sebagaimana tuntutan manhaj maka semua aktivis akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.

Syaikh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa tarbiyah dzatiyah merupakan tuntutan manhaj dakwah ini. Baik dalam arahannya agar menjadi aktivis dakwah yang sigap dan tanggap dalam menyambut tugas dakwah. Juga dalam muatannya yang tidak dapat diberikan secara kolektif karena berbagai pertimbangan. Namun dituntaskan secara personal dengan peningkatan kemampuan tarbiyah dzatiyah. Sehingga tampil aktivis yang siap go publik dengan Allah di jalan dakwah.

Tarqiyatu Ath-Thaqah Adz-Dzatiyah (Peningkatan Potensi Diri)

Peran serta aktivis terhadap dakwah sangatlah dimarakkan agar mereka dapat memberikan kontribusinya dan menjadi bagian dari dakwah. Dai yang dapat melakukan hal ini adalah mereka yang memahami betul potensi dirinya. Potensi yang dapat bermanfaat bagi perjalanan dakwah.

Menajamkan potensi diri menjadi aktivitas rutin. Seyogianya semakin hari semakin tajam potensi yang dimilikinya. Grafik potensinya selalu naik seiring perjalanan waktu. Sebagaimana yang dialami para pendahulu dakwah. Mereka senantiasa berada dalam kondisi puncak setiap bergulirnya waktu. Imam Ibrahim Al-Harby selalu mengomentari sahabat-sahabatnya dengan ungkapan istimewa. Katanya, “Aku sudah bergaul dengan fulan bin fulan beberapa waktu, siang dan malam. Dan tidak aku jumpai pada dirinya kecuali ia lebih baik dari kemarin.”

Layaknya aktivis dakwah dapat mengembangkan diri agar potensi yang dimilikinya betul-betul dapat didayagunakan seoptimal mungkin. Sehingga mereka bisa berada di garis terdepan. Bahkan sepatutnya dalam kondisi lebih baik dari hari-harinya yang telah lewat. Kondisi yang prima dan selalu lebih baik dari kemarin akan membuatnya istijabah fauriyah (dapat memenuhi panggilan dakwah dengan cepat) yang semakin kompleks tuntutannya. Dengan potensi yang demikian, aktivis dakwah dapat menempati lini yang beragam dalam tugas mulia ini. Karenanya tarbiyah dzatiyah adalah upaya untuk meningkatkan dan menajamkan seluruh potensi aktivis dakwah yang beragam.

Adapun aspek-aspek yang perlu ditingkatkan aktivis dakwah dalam tarbiyah dzatiyah terhadap dirinya meliputi:

1. Ar-Ruhiyah (Spiritual)

Sudah menjadi kebiasaan bagi para dai untuk dapat meningkatkan ketahanan ruhiyahnya. Sehingga ia tidak lemah dalam mengemban tugas mulia. Ruhiyah yang kokoh menjadi variable yang sangat menentukan. Bila perlu setiap aktivis memiliki program personal dalam menjaga ketahanan ruhiyah. Seperti merutinkan diri untuk shalat berjamaah di masjid, shaum sunnah, qiyamullail, sedekah, ziarah kubur ataupun aktivitas lainnya yang berdampak pada kesehatan ruhaninya.

Dengan upaya itu insya Allah maknawiyah dai tidak ringkih dan kendur. Kondisi maknawiyah yang rapuh akan berdampak negatif bagi dirinya dalam menjalankan tugas dakwah. Disamping itu, tampaknya para aktivis perlu mencermati naik turunnya ruhaniyah diri mereka sendiri. Bahkan sedapat mungkin mempunyai patokan yang terukur agar dapat dievaluasi dengan seksama baik melalui orang terdekat (murabbi, pasangan, teman) ataupun cukup diri sendiri.

Ambillah pelajaran dari sikap para sahabat dalam mentarbiyah ruhiyah mereka masing-masing. Ada yang selalu menjaga keadaan diri agar selalu dalam keadaan berwudlu’. Ada pula yang senantiasa mengunjungi orang yang sedang mengalami cobaan hidup. Ada juga yang berziarah ke makam, dan upaya lainnya. Camkanlah nasihat Umar ibnul Khathtab, “Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihisab Allah swt. di hari Perhitungan (akhirat).


2. Al-Fikriyah (Pemikiran)

Pada dasarnya pemikiran manusia senantiasa menuntut konsumsinya agar tidak mengalami kejumudan berpikir. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tidaklah cukup mengandalkan muatan pemikiran dari majelis liqaat tarbiyah semata. Akan tetapi dapat mencari berbagai sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.

Telah banyak paparan nash dari Al-Qur’an ataupun Hadits yang menyuruh untuk memberdayakan kemampuan berpikir dengan melakukan pengamatan dan pengkajian. Sehingga pemikiran dai senantiasa dalam pencerahan bahkan ia selalu dapat mencari solusi yang pas. Bila demikian halnya pemikiran aktivis senantiasa berkembang dan menjadi pintu gerbang kemajuan intelektual. Maka, adalah wajib bagi aktivis dakwah untuk membaca buku beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun kecil.

3. Al-Maliyah (Material)

Dakwah juga dipengaruhi oleh kekuatan material. Tidak terkecuali para pengembannya. Karena itu setiap aktivis harus memiliki kemampuan interpreneurshipnya agar tidak menjadi beban orang lain. Ini harus menjadi muwashafat dai. Dai harus memiliki kemampuan mencari penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasabi).

Para sahabat yang diridhai Allah swt. telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa mereka tidak menjadi beban bagi saudara. Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah tidak membawa apa-apa, namun mereka tidak mengandalkan bantuan kaum Anshar. Kaum Muhajirin mampu mengembangkan potensi maaliyah dirinya. Mereka pun akhirnya dapat hidup sebagaimana layaknya malah ada yang lebih baik dari kehidupannya di Mekkah.

4. Al-Maidaniyah (Penguasaan Lapangan)

Penguasaan lapangan juga hal sangat penting bagi perkembangan dakwah ini. Seorang aktivis mesti memahami medan yang dihadapinya dengan cepat. Penguasaan lapangan yang cepat dan tangkap dapat memperoleh taktik dan strategi yang tepat untuk dakwah ini. Pengenalannya yang bagus dapat menentukan strategi apa yang cocok dan pas bagi wilayah tersebut. Maka ketika para sahabat berada di tempat yang baru mereka mulai belajar untuk mengenal medan dan lingkungannya. Sehingga perjalanan dakwah mereka berkembang dengan pesat. Seperti dakwah di Madinah oleh Mush’ab bin Umair dan sahabat lainnya.

Dari sinilah setiap aktivis perlu mengenal dengan betul wilayahnya. Sehingga dapat terdeteksi dengan cepat mana yang menjadi peluang dakwah dan mana pula yang menjadi hambatannya. Sehingga ia dapat mensikapinya dari keadaan tersebut. Bila menemui sumbatan ia cepat mengantisipasinya.

5. Al-Harakiyah (Gerakan Dakwah)

Penguasaan harakiyah pun menjadi aspek tarbiyah dzatiyah yang perlu diperhatikan sehingga aktivis dakwah bisa mengikuti lajunya gerakan dakwah. Ini bisa terjadi apabila seorang aktivis dapat menyelami geliat dakwah dan pergerakannya. Pemahaman terhadap gerakan dakwah yang tepat melahirkan sikap dai yang mengerti benar tentang sikap apa yang harus dilakukan untuk kepentingan dakwah.

Sebagaimana yang dilakukan Hudzaifah Ibnul Yaman ketika masuk ke tengah barisan musuh. Saat kondisi malam yang gelap dan mencekam seperti itu, Abu Sufyan sangat khawatir pasukannya diinfiltrasi. Sehingga ia mengumumkan agar seluruh prajurit harus mengenal siapa yang ada di kiri kanannya. Setelah selesai memberikan komando itu Hudzaifah lantas memegang tangan orang yang ada di sisi kanan dan kirinya sambil menanyakan siapa engkau. Tentu saja mereka menjawab saya fulan bin fulan. Dengan kesigapannya Huzaifah tidak ditanya orang.

Sasaran yang hendak dicapai dari tarbiyah dzatiyah bagi seorang aktivis dan perkembangan dakwah adalah sebagai berikut:

Al-Munawaratul Al-Harakiyah (Gerak Manuver Dakwah)

Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah untuk dapat mengembangkan gerak manuver dakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan manusia lain yang mendapatkan sentuhan dari dakwah dan dainya. Wilayah dakwah semakin hari semakin meluas dan aktivis dakwahnya semakin hari semakin bertambah tentu juga peningkatan mutu kualitasnya. Dalam kajian Fiqhus Sirah, Syaikh Munir Muhammad Ghadhban diungkapkan bahwa Rasulullah saw. setiap tahun selalu mendapatkan informasi mengenai bertambahnya suku, kabilah atau orang yang tersentuh dakwah Islam dan menjadi pengikutnya yang setia. Ini tentu sangat terkait dengan para penyebar dakwahnya. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu dalam kondisi meningkat iman dan taqwanya serta meningkat dalam merespon perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa tarbiyah dzatiyahnya sudah sangat mapan.

Al-Matanah An-Nafsiyah Ad-Dakhiliyah (Soliditas Personal)

Tarbiyah dzatiyah juga untuk meningkatkan daya tahan dai. Aktivis yang tidak lemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban material aktivis lainnya, tidak bingung dengan sekitarnya dan tidak pula linglung atau ketinggalan jauh dari lajunya dakwah ini. Aktivis yang tidak menjadi beban bagi dakwah atau membuat bertambahnya beban pemikiran para qiyadah.

Dengan begitu akan muncul aktivis yang tangguh dalam menunaikan amanah dakwah. Aktivis yang prima staminanya dalam menjalankan tugas. Sehingga perjalanan ini semakin lancar dan mulus untuk meniti jalan kemenangan dakwah. Bila hal ini tercapai dakwah tidak disibukkan dengan urusan internal dan konfliknya. Sebaliknya para aktivis akan sibuk dengan maneuver dakwahnya.

Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah Bagi Aktivis

Untuk dapat menjalankan program tarbiyah dzatiyah hendaknya perlu mempertimbangkan kiat berikut:

Pertama, buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkan dengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah di masjid, selalu membaca 1 juz Al-Qur’an dalam setiap hari. Demikian pula aspek fikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yang hendak dicapai.

Kedua, setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritas amal yang hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera. Hal ini tentu melihat pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan, maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.

Ketiga, sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dari program yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan. Keempat, agar dapat menjadi program kegiatan yang jelas, tekadkan untuk memulainya dari saat ini dan berdoalah pada Allah swt. agar dimudahkan dalam menjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan terus melakukannya, upayakan untuk memberikan sanksi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan.

Sumber :
Mochamad Bugi
http://www.dakwatuna.com/2007/tarbiyah-dzatiyah-akhir/
28 Agustus 2007

Menyelami Samudera Tarbiyah

Ta'rif Tarbiyah ( pengertian tarbiyah )

1. Lughawi/bahasa/etimologis
raba – yarbu: tumbuh
rabba – yurabbi: menumbuhkan
a. At-Tansyi-ah (pembentukan)
ruhiyah-ma’nawiyah (spiritual)
fikriyah-tsaqafiyah (intelektual)
amaliyah-harakiyah
b. Ar-Ri’ayah (pemeliharaan)
mutaba’ah (kontrol) dan taqwim (evaluasi)
c. At-Tanmiyah (pengembangan)
meningkatkan kualitas dan memperbaiki kekurangan/kelemahan
d. At-Taujih (pengarahan) dan at-Tauzhif (pemberdayaan)
pengarahan, penugasan, penempatan, dan pemfungsian.


2.Ishtilahi/terminologis
Cara ideal berinteraksi dengan fitrah manusia, secara langsung (berupa kata-kata) maupun tidak langsung (melalui keteladanan) untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.
Proses penyiapan manusia yang shalih, agar tercipta keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakan secara keseluruhan: ruhani, jasmani, dan akal fikiran; duniawi dan ukhrawi.

Landasan Tarbiyah

1. Al Qur-an
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS 2: 151)

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membaca-kan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS 3: 164)

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS 62: 2)

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar. (QS 3:104)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar dan beriman kepada Allah. (QS 3: 110)

2. Al Hadits
a. Manusia itu ibarat seratus unta, hampir-hampir saja dari seratus itu engkau tidak mendapatkan satu unta pemikul beban.
b. Manusia itu (ibarat) barang tambang, yang terbaik di antara mereka pada masa
Jahiliah adalah yang terbaik dalam Islam, jika mereka faham.


Tujuan Tarbiyah
Menciptakan kondisi yang kondusif bagi manusia untuk hidup di dunia secara lurus dan baik, serta hidup di akhirat dalam naungan ridla dan pahala Allah swt.
Agar manusia mampu:
1. Beribadah kepada Allah semata sesuai syariatnya, QS 51: 56.
2. Menegakkan khilafah Allah di muka bumi, QS 2: 30.
3. Membuat suasana saling mengenal sesama manusia, QS 49:13.
4. Membentuk kepemimpinan dunia, QS 24: 55.
5. Menghukum dengan syariat, QS 5: 49.

Target Tarbiyah

1. Memberikan gambaran Islam yang jelas: benar dan menyeluruh
2. Mampu berinteraksi dgn Islam: 1) internal (keyakinan, pemikiran, dan perasaan) untuk menghasilkan azam/tekad; dan 2) eksternal (penampilan, sikap, & tingkah laku) yang mencerminkan akhlak.
3. Pergerakan (harakah): 1) peningkatan ilmu & pengembangan
moral; dan 2) pengembangan/perluasan cakupan dakwah
4. Membentuk pengalaman/aplikasi harakah
5. Tanggung jawab: syariah dan dakwah
6. Pengembangan potensi (kafaah): dakwah, ilmiah, keterampilan.

Visi Tarbiyah
Menjadikan seorang muslim yang shalih sebagai dai yang produktif dan mampu mengemban amanah da’wah, seorang dai yang memiliki wawasan ilmiah dengan berbagai ilmu pengetahuan yang dibutuhkan. Mendukung potensi dan skill setiap orang dalam berbagai segi produktif yang diperlukan, demi mendukung dan mewujudkan cita-cita secepat mungkin.

Misi Tarbiyah

Seluruh kemampuan, perhatian dan energi akan selalu kami tumpahkan untuk merealisasi misi kami “ Menyiapkan seorang muslim sholeh sebagai dai yang :
1.Memiliki pengetahuan keislaman yang sesuai
dengan kebutuhan diri, umat, dan zamannya
2.Dapat mengembangkan bakat-bakat pribadi
untuk produktifitas dan kemandirian
3.Memiliki berbagai ketrampilan belajar dan ketrampilan hidup
4.Memiliki ilmu pengetahuan kontemporer,
sehingga mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan hidup dalam masyarakat.
5.Dapat berda’wah secara profesional dengan
mengenal lingkungan sosialnya.
6.Mampu turut membangun masyarakat madani.

Implementasi Tarbiyah

1. Tarbiyah harus memiliki marhalah (jenjang).
2. Tarbiyah memiliki batasan waktu yang lama, tidak terikat dengan jenjang waktu.
3. Tarbiyah tidak tergesa-gesa mendapatkan hasil.
4. Tarbiyah harus memulai dari dada setiap individu muslim, kemudian menyebarkan kepada marhalah lebih lanjut.
5. Tarbiyah memerlukan jamaah (wadah kelembagaan) yang baik.
6. Wadah kelembagaan harus memiliki program dan strategi yang jelas untuk ke depan.
7. Landasan manhaj dan patokan tarbiyah harus disesuaikan dengan arah, program dan rencana ke depan Jamaah.

Ciri Khas Tarbiyah

1. Da’wah Salafiah karena mereka menyeru untuk mengembalikan Islam kepada sumbernya yang jernih yakni kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
2. Thariqah Sunniah karena dengan segenap kemampuannya mereka membawa dirinya untuk beramal dengan landasan Sunnah yang suci dalam segala hal khususnya dalam hal aqidah dan ibadah.
3. Haqiqah Shufiah karena mereka memahami bahwa asas kebaikan adalah kesucian jiwa, kejernihan hati, kontinyuitas amal, berpaling dari ketergantungan kepada makhluk, kecintaan karena Allah dan komitmen dengan kebajikan.
4. Hai’ah Siyasiah karena mereka menuntut perbaikan hukum dari dalam, meluruskan persepsi seputar hubungan ummat Islam dengan bangsa–bangsa lain di luar negeri serta mendidik masyarakat untuk memiliki kehormatan, harga diri dan kemauan yang kuat untuk mempertahankan jatidirinya sampai batas maksimal.
5. Jama’ah Riyadhiah karena mereka sangat memperhatikan fisiknya dan menyadari bahwa mu’min yang kuat lebih baik dari pada mu’min yang lemah. Sebagai konsekuensinya mereka juga sangat memperhatikan organisasi dan klub-klub olah raga sehingga menyamai atau bahkan berprestasi lebih baik dari pada klub-klub olah raga yang ada di luar jama’ah bahkan yang profesional sekalipun.
6. Rabithah ‘Ilmiah Tsaqafiah karena Islam menjadikan aktifitas mencari ilmu sebagai suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah.
7. Syirkah Iqtishadiah karena Islam sangat memperhatikan pendistribusian harta dan perolehannya.
8. Fikrah Ijtima’iah karena mereka sangat memperhatikan penyakit-penyakit yang melanda masyarakat Islam dan berusaha memberikan terapi serta solusinya.

Muwashofat

Setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan akidah yang hanya dapat mereka peroleh melalui pemahaman terhadap al-Quran dan As-sunnah. (Salimul ‘Aqidah)
2. Setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan peruntuk yang disyariatkan kepada Rasulullah saw. Pada dasarnya, ibadah bukanlah hasil ijtihad seseorang karena ibadah itu tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangn atau penyesuaian dengan kondisi dan kemajuan zaman. (Shahihul ‘Ibadah).
3. Setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlak sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat. (Matinul Khuluq)
4. Setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan potensi dan kreativitasnya dalam dunia kerja. (Qadirun ‘alal Kasbi)
5. Setiap individu dituntut untuk memiliki keluasan wawasan. Artinya, dia harus memampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengembangkan wawasan. (Mutsaqqaful Fikri).
6. Setiap individu dituntut untuk memiliki kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam. (Qawiyul Jism).
7. Setiap individu dituntut untuk memerangi hawa nafsunya dan senantiasa mengokohkan diri di atas huikum-hukum Allah melalui ibadah dan amal saleh. Artinya, kita dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu setan yang menjerumuskan manusia pada kejahatan dan kebatilan.(Mujahid lin Nafsi)
8. Setiap individu dituntut untuk mampu mengatur segala lurusannya sesuai dengan keteraturan Islam. Pada dasarnya, setiap pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir pada kegagalan. (Munadzam fi Syu’unihi)
9. Setiap individu dituntut untuk mampu meelihara waktunya sehingga dia akan terhindar dari kelalaian dan perbuatan manusia. Dengan begitu, dia pun akan mampu menghargai waktu orang lain sehingga dia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kesia-siaan, baik untuk kehidupan dunia maupun akheratnya. Tampaknya, tepat sekali apa yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa waktu itu ibarat pedang. Jika tidak kita tebaskan dengan tepat, pedang itu akan menebas diri kita sendiri. (Haritsun ‘ala Waktihi)
10. Setiap individu harus menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. (Nafi’un li Ghairihi)

Bidang Studi Tarbiyah

A. Dasar-dasar Keislaman
[1] Al quran dan ulumul quran, [2] Hadits dan ulumul hadits, [3] Aqidah, [4] Fiqh, [5] Akhlak, Sirah dan Kepribadian muslim.

B. Pengembangan Diri
[6] Metodologi berfikir dan riset, [7] Belajar mandiri, [8] Rumah tangga muslim, [9] Manajemen, [10] Bahasa arab, [11] Kesehatan dan kekuatan fisik, [12] Kependidikan dan keguruan

C.Da'wah dan Pemikiran Islam
[13] Fiqh da’wah, [14] Sejarah dan Peradaban ummat, [15] Dunia Islam kontemporer, [16] Pemikiran, Gerakan dan Organisasi pembaharuan, [17] Islam dan kekuatan-kekuatan lawan.

D. Sosial Kemasyarakatan
[18] Tata sosial kemasyarakatan, [19] Perundang-undangan, [20] Sistem politik dan hubungan internasional, [21] Ekonomi, [22] Seni dan budaya, [23] Iptek dan lingkungan, [24] Issu Kontemporer Sospol Da’wah Islam.


Sumber :
http://www.freewebs.com/erwinfaza/tentangtarbiyah.htm

Tarbiyah Islamiyah, Fondasi Perbaikan Masyarakat

Dalam kehidupan pribadi atau masyarakat, pendidikan (tarbiyah) menduduki posisi yang sangat penting. Sebab melalui proses pendidikan pribadi seorang dapat tumbuh dan berkembang secara baik, sesuai yang diharapkan. Tarbiyah dapat membentuk kepribadian seseorang selaras dengan nilai-nilai dan prinsip yang mendasarinya sehingga menjadi kepribadian yang sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai dan prinsip Islam.
Seseorang yang telah dididik dengan pola pendidikan Islam, sikap dan perilakunya akan merupakan refleksi total dari keutuhan dirinya yang telah ter-sibghah nilai-nilai Islam. Akibatnya integritas Islamnya kukuh dan gaya hidupnya Islami. Tidak akan terjadi split personality (kepribadian pecah) yang mengakibatkan seorang muslim kehilangan kepribadiannya dan terseret ke dalam arus gaya hidup yang lain.


Pendidikan Islam mengarahkan kehidupan seorang muslim berkembang dan terus semakin matang. Sikap, perilaku, dan gaya hidupnya bersifat spesifik islami yang berinteraksi secara posiif, baik internal maupun eksternal. Sehingga ia dapat memancarkan arus Islam di tengah-tengah lingkungannya. Ia menjadi manusia yang tangguh yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai arus kehidupan yang melandanya. Tegasnya ia menjadi muslim yang muttaqin.

Urgensi Tarbiyah Islamiyah
Barangkali tidak akan ada yang menyangkal bahwa Muslim yang istiqomah dengan Islam atau dengan kata lain yang berpegang teguh pada din Allah merupakan modal dasar terbenuknya masyarakat Islam. Ia adalah batu bata yang dapat disusun menjadi bangunan. Semakin tinggi dan besar suatu bangunan maka semakin memerlukan batu bata yang kuat dan kukuh.
Di sisi lain berpegang teguh dengan din Allah adalah dasar umum bagi penyelesaian krisis keimanan yang melanda kaum muslimin terutama para pemudanya. Karena itu peranan tarbiyah dalam upaya mengatai munculnya gejala krisis konfedensi di kalangan kaum muslimin yang diakibatkan oleh derasnya arus ghazwl fikri (perang pemikiran) semakin jelas.
Secara ringkas urgensi dari tarbiyah Islamiyah ini terlihat jelas pada peranannya dalam kehidupan ini. Pertama, membentuk generasi yang Islami. Pendidikan islami (tarbiyah Islamiyah) adalah satu-satunya cara terbaik dalam membentuk individu berkepribadian, masyarakat yang ideal dan peradaban kemanusiaan yang tinggi. Hubungan ketiga aspek tersebut saling terkait, karena terbentuknya masyarakat ideal. Sedangkan terbentuknya masyarakat ideal merupakan medium terbentunya peradabn kehidupan manusia yang tinggi.
Apabila ketiga aspek tersebut terwujud maka akan melahirkan kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan hidup. Semua itu dapat diwujudkan melalui Tarbiyah Islamiyah.
Kedua, merupakan kebutuhan manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang mempunyai insting, watak, dan kecenderungan yang berbeda-beda. Ada orang yang di dalam kehidupannya dijajah oleh nafsu. Perilaku tersebut tidak ubahnya seperti binatang. Tetapi ada pula manusia yang mampu meningkatkan derajadnya ke tingkat yang paling tinggi. Namun ada juga manusia yang mengikuti kehendak syetan.
Jika manusia dibiarkan dengan kecenderungan dan watak masing-masing tanpa ada upaya pembentukan melalui media pendidikan yang sesuai dengan fitrah kejadiannya, niscaya panorama bumi akan diwarnai dengan kezaliman dan permusuhan.
Sehubungan dengan itu satu-satunya media untuk menyelamatkan manusia dari kenistaan dan jeratan konflik akibat adanya pertentangan ialah tarbiyah islamiyah yang menyeluruh terutama pembinaan iman dan keyakinan.
Ketiga, tarbiyah Islamiyah adalah suatu kewajiban agama. Pendidikan islam adalah wajib, karena ia merupakan sarana terlaksananya kewajiban din yaitu ibadah. Ta’lim adalah bagian dari tarbiyah dan ibadah tidak sah tanpa mengetahui hokum dan syarat sahnya ibadah. Atas dasar tersebut Rasulullah SAW bersabda “ Menuntut ilmu itu ajib bagi setiap Muslim”.
Itulah beberapa bukti dan pertimbangan yang memastikan urgensi tarbiyah islamiyah salam kehidupan. Tetapi perlu kita sadari bahwa tanpa adanya tarbiyah yang terarah dan sistemik mustahil akan mencetak insan yang memiliki Syakhsiyah Islamiyah.

Pengertian Tarbiyah Islamiyah
Dari segi bahasa tarbiyah islamiyah bermakna: Rabba-yarbu (tumbuh berkembang), rabbiya-yarba (tumbuh secara alami), rabba-yarabbu (memperbaiki, meningkatkan). Sedangkan secara istilah Tarbiyah Islamiyah adalah memperbaiki sesuatu, menjaga serta memeliharanya.
Tarbiyah memiliki pengertian cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (dengan kata-kata) ataupun secara tidak langsung (dengan keteladanan) untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.
Tarbiyah Islamiyah berarti proses mempersiapkan orang dengan persiapan yang menyenuh seluruh aspek kehidupan meliputi jasmani, ruhani, dan akal pikiran. Demikian juga dengan kehidupan duniawinya, dengan segenap aspek hubungan dan kemaslahatan yang mengikatnya, dan kehidupan akhirat dengan segala amal yang sihisabnya yang membuat Allah ridha atau murka.
Jadi secara ringkas tarbiyah islamiyah adalah proses penyiapan manusia yang saleh, yakni agar tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Keseimbangan potensi yang dimaksud adalah hendaknya jangan sampai kemunculan potensi menyebabkan lenyapnya potensi yang lain atau suatu potensi sengaja dimandulkan agar muncul potensi yang lain.
Juga keseimbangan antara potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran, keseimbangan antara kebutuhan primer dan sekundernya, antara cita-cita dan realitasnya, antara jiwa ambisi pribadi dan jiwa kebersamaannya, antara keyakinan kepada alam ghaib dan keyakinan pada alam kasat mata, keseimbangan antara makan, minum, pakaian, dan tempat tinggalnya, tanpa adanya sikap berlebih-lebihan si satu sisi dan pengabaian di sisi yang lain. Benar-benar keseimbangan yang mengantarkan pada sikap yang adil dalam segala hal.

Tujuan Tarbiyah Islamiyah
Secara umum terbiyah islamiyah bertujuan membentuk manusia yang hanya beribadah kepada Allah SWT dan memakmurkan bumi hanya dengan aturan-aturan Allah baik yang berupa wahyu atau pun sunatullah, sehingga lahir suasana kehidupan yang islami di bumi ini.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut dijabarkan dalam tiga tujuan utama dari tarbiyah islamiyah. Pertama, Terbentuknya Tashawur (persepsi) Islami yang jelas. Islam sebagai din, sebagai pedoman hidup dari Allah SW mencakup seluruh aspek kehidupan dan perilaku untuk seluruh zaman dan ummat manusia. Ketidakmenyeluruhan persepsi terhadap Islam akan mengakibatkan Islam terisolasi dari pentas kehidupan, juga menjadi sumber bid’ah, khurafat, takhayul, dan tradisi jahiliyah serta berbagai kontradiksi. Bahaya persepsi yang parsial (Juz’i) dijelaskan dalam firman Allah QS Al Baqarah:85 sedangkan kejelasan dan keuniversalan Islam terlihat pada firman Allah QS An-Nisaa’:89.
Kedua, membentuk Syakhsiyah Islamiyah (pribadi yang Islami). Pribadi yang Islami adalah pribadi yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai bahan utama pembentuk kepribadiannya, sehingga identitas dirinya benar-benar mencerminkan keislamannya.
Komponen dasar bagi terbentuknya kepribadian seseorang adalah keyakinan, pendirian, perasaan, pemikiran, watak, performa, dan perilaku. Dan akidah islamiyah adalah dasar pembentukan dari semua komponen tersebut.
Ketiga, tarbiyah ilamiyah diharapkan menghasilkan buah yang baik. Buah yang diharapkan dari pembinaan islami (tarbiyah islamiyah) adalah terciptanya sosok pribadi Muslim yang ideal, pribadi muslim yang kaffah. Yaitu pribadi muslim yang mengimplemetasikan nilai-nilai Islam secara keseluruhan, tidak hanya bagian per bagian.Mira

Sumber :
http://qolbunsalim.wordpress.com/2006/12/24/tarbiyah-islamiyah/
24 Desember 2006

Tarbiyah, Sebuah Proses Pembentukan

Tarbiyah… sebenarnya apa tujuan dari tarbiyah itu? Baik murobbi maupun mutarobbi seharusnya paham akan tujuan tarbiyah sehingga tarbiyah tidak hanya sekedar rutinitas tapi ada target atau tujuan yang dicapai.

Pengertian Tarbiyah secara bahasa tansyiah (pembentukan), riayah (pemeliharaan), tanmiyah (pengembangan), dan taujih (pengarahan)
Maka proses tarbiyah yang kita lakukan dengan menggunakan sarana dan media bermacam-macam, seperti halaqah, tatsqif, ta’lim fil masjid, mukhoyyam, lailatul katibah dan lainnya harus memperhatikan empat hal di atas sebagai langkah-langkah praktis untuk sampai pada tujuan strategis, yaitu terbentuknya pribadi muslim atau shalih mushlih.

1.Tansyi’ah (Pembentukan)
Dalam proses tansyi’ah harus memperhatikan tiga sisi penting, yaitu:
a. Pembentukan ruhiyah ma’nawiyah
Pembentukan ruhiyah ma’nawiyah dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ibadah seperti qiyamul lail, shaum sunnaah, tilawah Qur’an, dzikir, dan lain-lain. Para murabbi harus mampu menjadikan sarana-sarana tarbiyah ruhiyah semisal mabit, lailatul katibah, jalasah ruhiyah, dalam membentuk pribadi mutarobbi pada sisi ruhiyah ma’nawiyahnya dirasakan serta disadari oleh mutarobbi bahwa ia sedang menjalani proses pembentukan ma’nawiyah ruhiyah. Jangan sampai mabit hanya untuk mabit.

b. Pembentukan fikriyah tsaqafiyah
Sarana dan media tarbiyah tsaqofah harus dijadikan sebagai sarana dan media yang dapat membentuk peserta tarbiyah pada sisi fikriyah tsaqafiyah, jangan sampai tatsqif untuk tatsqif dan ta’lim untuk ta’lim, tetapi harus jelas tujuannya bahwa tatsqif untuk pembentukan tasaqofah yang benar dan utuh, ta’lim untuk tsaqofah fid dien dan ini harus disadari dan dirasakan oleh murabbi dan mutarobbi.

c. Amaliyah harakiyah
Proses tarbiyah selain bertujuan membentuk pribadi dari sisi ruhiyah ma’nawiyah dan fikriyah tsaqafiyah juga bertujuan membentuk amaliyah harakiyah yang harus dilakukan secaa bebarengan dan berkisanambungan seperti kewajiban rekruitmen dengan da’wah fardiyah, da’wah amah dan bentuk-bentuk nayrud tarbiyah lainnya, serta pengelolaan halaqoh tarbiyah yang baru sehingga sisi ruhiyah ma’nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah teraktualisasi dan terformulasikan dalam bentuk amal nyata dan kegiatan riil serta dirasakan oleh lingkungan dari masyarakat luas.

2.Ar-Riayah (Pemeliharaan)
Kepribadian Islami yang sudah atau muai terbentuk harus dijaga dan dipelihara ma’nawiyah, fikriyah tsaqofiyah dan amaliyahnya dan ditaqwin (dievaluasi) sehingga jangan sampai ada yang berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas ibadah ritual, wawasan konseptual, fikrah dan harakah tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak ada penurunan dalan tilawah yaumiyah, qiyamul lail, shaum sunnah, baca buku, tatsqif, liqoat tarbiyah dan aktifitas da’wah serta pembinaan kader.

3. At-Tanmiyah (Pengembangan)
Dalam proses tarbiyah, murabbi dan mutarobbi tidak boleh puas dengan apa yang ada dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, apalagi menganggap sudah sempurna. Murobbi dan mutarrobbi yang baik adalah murobbi dan mutaroobi yang selalu memperbaiki kekurangan dan kelemahan serta meningkatkan kualitas, berpandangan jauh ke depan, bahwa tarbiyah harus siap dan mampu menawarkan konsep perubahan dan dapat mengajukan solusi dan berbagai permasalahan umat dan berani tampil memimpin umat. Oleh karenanya kualitas diri dan jama’ah merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan dalam proses tarbiyah.

4.At-Taujjh (Pengarahan) dan At-Tauzif (Pemberdayaan)
Tarbiyah tidak hanya bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik dan berkualitas secara pribadi namun harus mampu memberdayakan dan kualitas diri untuk menjadi unsure perubahan yang aktif dan produktif (Al muslim as shalih al mushlih).
Murobbi dapat mengarahkan, memfungsikan dan memberdayakan mutarobbinya sesuai dengan bidang dan kapasitasnya. Mutarobbi siap untuk diarahkan, ditugaskan, ditempatkan dan difungsikan, sehingga dapat memberikan kontribusi riil untuk da’wah, jama’ah dan umat, tidak ragu berjuang dan berkorban demi tegaknya dienul Islam.
“Dan di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menjadi apa yang mereka telah janjikan kepada Allah, maka di anatra mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya (QS….)

Indikasi keberhasilan tarbiyah bisa dilihat pada peran dan kontribusi kader dalam penyebaran fikrah, pembentukan masyarakat Islam, memerangi kemungkaran, memberantas kerusakan dan mampu mengarahkan dan membimbing umat ke jalan Allah. Serta dalam keadaan siap menghadapi segala bentuk kebatilan yang menghadang lajunya da’wah Islam
“Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS. 9:111)

Semoga Allah selalu bersama kita dan kemenangan memilih kepada kita.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad:7)

Sumber :
Ust. Abdul Muiz, MA
http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/06/13/tarbiyah-sebuah-proses-pembentukan/
12 Juni 2007