Sabtu, 14 November 2009

Tarbiyah Hak Semua Orang

Abu Bakar ra. mewakili kalangan tua dan tokoh masyarakat. Ali bin Abi Thalib ra. mewakili kalangan muda terpelajar. Khadijah ra. mewakili kalangan wanita pengusaha. Zaid bin Haritsah ra. mewakili kalangan tenaga kerja (khadam). Bilal bin Rabah ra. mewakili kalangan mantan budak. Ibnu Shihab Ar-Rumi mewakili belahan dunia barat (Romawi). Salman Al-Farisi mewakili belahan dunia Timur (Persia). Utsman bin Affan ra. mewakili kalangan saudagar. Asma binti Abu Bakar ra. mewakili kalangan aktivis perempuan. Aisyah binti Abu Bakar R. A. mewakili kalangan wanita terpelajar. Umar bin Khattab ra. mewakili kalangan elit dan pejabat publik. Usamah bin Zaid R. A. mewakili anak-anak belasan tahun (remaja lingkungan). Abdullah bin Umar ra. mewakili kalangan remaja terpelajar. Hasan bin Tsabit ra. mewakili kalangan pujangga seniman dan penyair.


Zaid bin Tsabit ra. mewakili kalangan muda ahli bahasa. Mus’ab bin Umair ra. mewakili kalangan elit muda perkotaan. Abdullah bin Ummi Maktum ra. mewakili kalangan tunanetra. Rafi’ bin Khudaij R.A mewakili olahragawan cabang memanah. Samrah bin Jundab mewakili olahragawan cabang gulat. Rufaidah R.A, mewakili kalangan dokter dan perawat (tenaga medis). Al-Habbab ibnu Mundzir ra. mewakili kalangan militer dan ahli strategi perang. Nuaim bin Mas’ud ra. mewakili kalangan ahli rekayasa dan menejemen konflik. Ummu Aiman ra. mewakili wanita pekerja dan Ibu Rumah Tangga. Abdullah ibnu Mas’ud ra. mewakili kalangan Qurra’ (Qari Al-Qur’an)


Daftar panjang nama sahabat-sahabat terkemuka yang me-wakili kurang lebih 24 segmen atau lapisan masyarakat yang ada, merupakan gambaran keberhasilan da’wah dan tarbiyah di masa Rasulullah Saw. yang menyentuh hampir semua segmen yang ada di masyarakat. Keberhasilan Rasulullah Saw. dalam merekrut dan mengkader para sahabat dari berbagai segmen tersebut menunjukkan pula keyakinan beliau bahwa semua segmen sosial memiliki potensi dan peluang kontribusi yang sama dalam melapangkan jalan da’wah menuju kemenangan. Keikutsertaan semua segmen sosial itu merupakan daya dukung dan sebuah sinergi kekuatan bagi perjuangan menegakkan kebenaran. Selain itu juga menyebabkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif yang kemudian melahirkan kekuatan kolektif yang pada akhirnya menandai lahirnya sebuah peradaban baru dengan perubahan paradigma, sikap dan perilaku.

Ajaran Islam yang integral dan terpadu (syamil mutakamil) di masa Rasulullah tidak hanya dipahami dalam tataran normatif-konseptual, tetapi juga dipraktekkan pada tataran implementatif-operasional, sehingga jangkauan operasional da’wah beliau merambah hampir ke semua segmen masyarakat. Tidak ada satu segmen pun di masyarakat yang luput dari fokus bidikan da’wah dan tarbiyah, mulai dari kalangan muda hingga orang tua, dari anak-anak hingga remaja, dari budak hingga orang merdeka, dari fakir miskin hingga saudagar kaya, dari pekerja kasar hingga tenaga ahli, dari masyarakat biasa hingga elit politik serta olahragawan hingga seniman.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah telah, berhasil secara optimal memenuhi hak-hak tarbiyah semua orang, karena setiap orang berhak ditarbiyah agar memiliki pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Islam secara baik tanpa memandang segmen sosial dari mana ia berasal. Seperti halnya kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa, maka tarbiyah adalah hak mendasar pula bagi setiap manusia. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. diutus untuk menyampaikan risalah Allah Swt dalam rangka memenuhi hak-hak seluruh manusia untuk memperoleh kebenaran seperti termaktub dalam Qs. Saba’ ayat 28:

“Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tapi kebanyakan manusia tiada mengetahui"

Filosofi Tarbiyah

Secara harfiah kata-kata tarbiyah tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi kata-kata tersebut secara tersirat ada dalam istilah ribbiyyuna katsir (Qs. Ali Imran 3: 146). Ribbiyyun menunjukkan hasil dari sebuah proses tarbiyah yakni orang-orang yang tertarbiyah. Mereka telah mendapatkan arahan rabbani secara intensif sehingga wawasan dan pemahannya menjadi tumbuh dan berkembang, kepribadiannya terbentuk dan ter-shibghah (terwarnai) dengan nilai-nilai Islam. Selain itu fikrah-nya juga terisi dengan pengetahuan yang mendalam mengenai dasar-dasar keislaman, baik masalah akidah, ibadah dan muamalah serta akhlak. Kesemuanya itu akhirnya membuat peserta-peserta tarbiyah tersebut memiliki mentalitas yang kuat, tidak mudah takut(maa wahanu) serta tidak mudah lemah dan menyerah (maa dha’ufu) dalam menghadapi berbagai rintangan di jalan da’wah. Bahkan sebaliknya tidak tinggal diam (wa mastakaanu) dan senantiasa menampakkan militansi juang yang tinggi dan kesabaran yang produktif di jalan da’wah.

Sekilas seolah tak ada perbedaan antara istilah da’wah dan tarbiyah, tetapi sebenarnya ada perbedaan spesifik di antara kedua istilah tersebut. Pengertian da’wah dalam Al-Qur’an lebih bersifat umum yakni berbentuk tabligh dan ta’lim, hanya menyampaikan dan mengajarakan saja, sehingga bersifat satu arah. Sementara pengertian tarbiyah menunjukkan adanya intensitas pembinaan, hubungan, evaluasi dan komunikasi dua arah.

Perbedaannya memang lebih pada masalah teknis operasionalnya, sehingga mungkin dapat dikatakan bahwa tarbiyah adalah da’wah khusus karena sudah lebih menukik dan mendalam. Demikian pula halnya dengan pengertian da’i dan murabbi. Tugas da’i lebih merupakan upaya membuka wawasan, mengetuk pintu nurani dan masih bersifat temporer baik dari segi frekuensi maupun keterikatan hubungan dengan orang-orang yang dida’wahinya, serta bersifat satu arah dalam hal komunikasi. Sedangkan murabbi memiliki frekwensi dan keterikatan hubungan yang lebih permanen dan menggunakan komunikasi dua arah sehingga terjadilah proses simbiosis mutualisme. Di satu sisi seorang murabbi memberikan output tarbawi namun di sisi lain tetap membutuhkan input tarbawi dari para mutarabbinya. Oleh sebab itu terdapat arahan kuat dari Allah Swt. agar kita menjadi rabbaniyyin (orang-orang tertarbiyah) yang selalu bersemangat mengajarakan Al-Qur’an dan juga mengkaji al Qur’an secara intensif (Qs. Ali Imran 3: 79).

Secara psikologis, paling tidak di Indonesia, memang ada perbedaan antara da’i dan murabbi. Setiap murabbi pasti juga da’i, tetapi tidak semua da’i-da’i menjadi murabbi. Tolok ukur perbedaan nya ada pada tahapan dan cara kerja serta hasilnya.

Pengertian da’i di Indonesia baru sampai pada tahapan membabat hutan dan menyemai benih tanaman, tetapi belum menindaklanjutinya dengan program-program berkesinambungan yang akan merawat benih tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pohon berkualitas yang akarnya menghujam kuat ke dalam perut bumi serta produktif berbuah setiap saat (Qs. Saba’ 14: 24). Jadi da’i belum sampai pada tahapan merubah akhlak dan membentuk kepribadian.

Sebagian da’i di Indonesia dilihat dari rara kerjanya, menunjukkan kecenderungan menerapkan sistim one man show atau single fighter. Mereka memiliki aspek figuritas yang dominant sehingga orang-orang yang di bawah pengaruh da’wahnya lebih kuat komitmen figuritas yang emosional-kharismatik (Al-Iltizam al-Wijahy) dari pada komitmen nilai (Al-Iltizam as-syar’i wal ma’nawy) yang rasional. Kesan feodalisme masih sangat kental mewarnai hubungan sebagian da’i dengan ummatnya sehingga justru melestarikan hirarki sosial, kultus individu dan fanatisme figure meskipun dibungkus dengan kemasan Islam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum para da’i di Indonesia baru sampai pada taraf menyemarakkan arena da’wah dengan aneka orasi dan retorika. Jadi belum sampai pada usaha merubah secara revolusioner sebagaimana semangat perubahan yang mewarnai generasi pertama di masa Rasulullah Saw.

Sedangkan sebaliknya seorang murabbi, lebih menekankan pada komitmen nilai dan bukannya komitmen figuritas, sehingga tidak berlaku bertumpu hanya pada satu tokoh yang kharismatis. Selain itu murabbi lebih memberikan perhatian pada proses tarbiyah dan mengembangkan semangat dialog dan partisipasi aktif dalam kerangka amal jama’i.

Rasulullah Saw. dan para sahabat lebih berperan sebagai murabbi tinimbang da’i, oleh karena itu tidak seorang sahabat pun yang menyandang gelar da’i kondang. Namun kerja da’wah mereka begitu nyata dan produktif dalam hal mentarbiyah, membina dan membentuk pribadi, rumah tangga dan masyarakat yang islami.

Strategi da’wah one man show atau single fighter tidak pernah diterapkan Rasulullah Saw. dalam berda’wah dan berjuang. Beliau sadar benar tidak mungkin secara sendirian memenuhi hak tarbiyah semua orang dari berbagai segmen di masyarakat. Oleh karena itu beliau tidak membiarkan peran sebagai murabbi tertumpu pada dirinya. Beliau menanamkan semangat dan mendis-tribusikan tugas-tugas sebagai murabbi kepada para sahabat.

Para sahabat lalu sesuai dengan kafa’ahnya masing-masing aktif melakukan rekrutmen tarbawi, Abu Bakar ra misalnya sukses merekrut dan mentarbiyah orang-orang yang berada di segmen yang sama dengannya yakni kalangan tokoh dan saudagar kaya. Mush’ab bin Umair R,.A. produktif mentarbiyah kalangan elit politik Yatsrib. Kemudian Abdullah bin Ummi Maktum ra. menunjukan prestasinya dalam mentarbiyah lapisan masyarakat kelas bawah. Dan yang tak terduga mantan budak Khabbab bin Al-Arath diam-diam berhasil mentarbiyah adik Umar bin Khattab yakni Fatimah binti Khattab dan suaminya Said bin Zaid. Secara tidak langsung Fatimah menjadi sebab masuk Islamnya Umar bin Khattab ra.

Hak dan Kewajiban Tarbiyah

Umumnya setiap orang sangat senang dan merespon dengan antusias bila hak-haknya dibicarakan dan diperjuangkan. Apa-lagi bila hak-hak yang ditawarkan tersebut berbentuk materi, maka semua tangan akan menjulur ke depan, berlomba-lomba lebih dahulu mendapatkan haknya. Namun tidak demikian hal-nya dengan hak tarbiyah. Tidak semua orang mau menerima-nya apalagi sampai memintanya. Oleh sebab itu diperlukan upaya penyadaran dan pengkondisian agar setiap orang dengan senang hati mau menerima dan bahkan menuntut haknya untuk ditarbiyah yakni hak untuk mendapatkan pengarahan yang benar dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Islam.

Bila di satu sisi tarbiyah adalah hak semua orang, maka di sisi lain harus dipahami bahwa tarbiyah merupakan kewajiban bagi sebagian orang. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan karunia kebaikan dari Allah berupa hidayah dan kelapangan dada untuk menerima dan menjalankan nilai-nilai islam dalam kehidupan. Dan bukti rasa syukur kepada Allah atas segala karunia dan hidayah yang diberikan-Nya, maka ia harus berbuat baik kepada orang lain dengan cara mentarbiyahnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Qashas (28):77

" Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu" (Qs: 28; 77)

Jadi tarbiyah adalah hak dan sekaligus kewajiban. Setiap muslim harus berusaha menjadi orang-orang yang rabbani yang senantiasa berupaya memperoleh hak-haknya dan kemudian menunaikan kewajibanya mentarbiyah orang lain (bima kuntum tu’allimuunal kitaaba wa bimaa kuntum tadrusuun).

Dan tidak ada satu alasan pun untuk mengurangi hak-hak tarbiyah seseorang, seandainya ia seorang ahli maksiat. Dr. Abdul Karim Zaidan di dalam kitabnya Ushuludda’wah, me-nuturkan bahwa mereka tetap harus dipandang dengan penuh rasa sayang dan belas kasihan serta dipenuhi hak-hak tarbi-yahnya agar suatu saat menjadi insyaf. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam bersikap kepada Ikrimah bin Abi JahaL Ikrimah selama ini dikenal sebagai penjahat pe-rang yang tidak pernah absen di barisan terdepan dalam me-merangi umat Islam. la memiliki dendam kesumat dan selalu ingin melampiaskannya dengan rara memerangi umat Islam, karena ayahnya Abu Jahal terbunuh di dalam Perang Badar.

Tetapi ketika Fathu Mukkah, ia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw. dengan mengendarai kuda. Sesampainya di ke-mah Rasulullah ternyata ia disambut oleh Rasulullah dengan penuh kehangatan dan kasih saying," Marhaban Birrakibil Mu-hajir" (Selamat datang wahai si penunggang kuda yang hendak berhijrah – minal jahalah ilal islam).

Perlakuan Rasulullah yang simpatik dan penuh kelembutan membuat Ikrimah bersimpuh di pangkuan tarbiyah Rasulu-llaah Saw. la bahkan menjadi berubah 180 derajat dan mengisi lembaran-lembaran kehidupannya dengan kebajikan-kebaijkan yang luar biasa. la menjadi penulis wahyu yang terabadikan di dalam kitab-kitab tafsir hingga saat ini dan mendapatkan karunia syahadah dalam perang Yarmuk di masa kekhalifahan Abu bakar As-Siddiq ra.

Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengabaikan hak-hak tarbiyah seseorang, hanya karena ia dianggap tidak punya harapan lagi. Atau mendahului kehendak Allah dengan meng-anggap bahwa orang tersebut sudah ditakdirkan untuk binasa dan diadzab oleh allah Swt. Bukankah Rasulullah Saw. selalu berusaha denganmujahadah lahiriyah dan batiniyah agar dapat memenuhi hak-hak tarbiyah kaum Quraisy termasuk kaum elitnya, sehingga beliau pernah secara khusus berdo’a agar Al-lah berkenan kiranya memberi hidayah kepada salah satu di antara dua Umar,

"Allahumma a’izzal biahadil umarayn" (Ya Allah muliakanlah Islam dengan dua Umar, Umar bin Khattab dan Amru’ bin Hisyam (Abu Jahal))". Dan do’a beliau dikabulkan dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab yang menandai awal kebangkitan da’wah Islam.

Rasulullah Saw. bahkan tetap menunjukan semangat men-tarbiyah orang lain meskipun usianya sudah berangkat senja. Bukankah beliau mulai mentarbiyah para sahabatnya ketika usianya sudah berkepala empat?

Oleh sebab itu jangan sampai ada anggapan bahwa semangat mentarbiyah adalah semangat masa lalu atau masa muda ketika masih menjadi pelajar atau mahasiswa. Sehingga ketika sudah berkeluarga, usia bertambah dan disibuki dengan aktivitas men-cari mai’syah dan mengurus keluarga, kewajiban mentarbiyah pun ditinggalkan.

Seyogyanya kemahiran mentarbiyah tidak boleh ditinggalkan begitu saja karena para sahabat saja di usia senjanya masih terus mengasah ketrampilannya memanah. Ketika ditanya oleh sese-orang,

“Mengapa Anda setua ini masih saja terus berlatih memanah?” ternyata jawabannya sungguh mencengangkan.

“Aku merasa berdosa kalau kemahiran yang pernah kudapatkan di saat Rasulullah masih ada, hilang begitu saja karena telah aku tinggalkan."

Selain merupakan kewajiban, kegiatan mentarbiyah adalah suatu usaha agar dapat memiliki ma’dzirah (alasan untuk berlepas diri) bila kelak dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Yakni telah dilakukan satu usaha optimal untuk mengajak orang lain kepada kebenaran sesuai dengan manhaj yang dia-jarkan Rasulullah Saw. Kewajiban seorang murabbi hanyalah mentarbiyah, sementara hak memberi hidayah sepenuhnya di tangan Allah Swt.

Tidak seorang pun berhak mendahului kehendak Allah bahwa orang atau kelompok tertentu tidak perlu lagi dida’wahi atau ditarbiyah kerena dianggap layak atau sepantasnyalah dibi-nasakan dan diadzab oleh Allah Swt. Seseorang yang paham benar tentang urgensi mentarbiyah tidak akan mudah berputus asa dan mendahului kehendak Allah. Sebaliknya ia memiliki motivasi yang semakin kuat untuk mentarbiyah agar memiliki alasan berlepas diri untuk pertanggung jawaban di hadapan Allah Swt. kelak. Sebagaimana firman allah Swt. dalam Qur’an surat Al-A’raf: 164.

"Dan (ingatlah) ketika suatu umat di anatara mereka berkata, "Me-ngapa kamu menasehati satu kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa" (Qs. Al Isra’ 17: 164).

Kaderiasi Segmentatif dengan Studi Kasus Segmen Wanita.

Syumuliatul islam (integralitas Islam) tidak hanya tampak dari kekomprehensifan ajarannya tetapi juga terlihat dari keleng-kapan segmen pendukungnya. Hal itulah yang menyebabkan Islam dapat berkembang dan memiliki tatanan social-politik yang kuat. Di masa Rasulullah Saw. seluruh segmen masyarakat diberdayakan agar dapat memberikan kontribusi bagi kejayaan Islam.

Misalnya di segmen ketentaraan, Rasulullah Saw. memper-kokoh basis militernya dengan program alih teknologi persen-jataan perang dari negara lain. Beliau mengutus dua orang sahabatnya untuk mempelajari teknologi perakitan senjata jenis manjanik dan sekaligus kendaraan perangnya (dabbabah).

Perhatian Rasulullah Saw. yang besar terhadap segmen keten-taraan tidak membuat beliau berkurang perhatiannya terhadap segmen-segmen lainnya, misalnya segmen kewanitaan. Islam memberikan kesetaraan antara laki-laki dan wanita dalam ke-taqwaan, peluang memberikan kontribusi amal (Qs. Ali Imran 3: 195) serta hak mendapatkan tarbiyah secara optimal karena memiliki hubungan kemitraan yang dilandasi keimanan dan amal shaleh (QS. At Taubah 9: 71).

Rasulullah Saw. memberikan perhatian khusus untuk men-tarbiyah segmen wanita karena menyadari peran dominan wa-nita dalam mentarbiyah anak-anaknya dan kaumnya. Bahkan dalam sebuah adigium dikatakan wanita adalah madrasah, seko-lah yang mendidik sebuah generasi:

“Ibu adalah madrasah. Bila Anda memepersiapkannya dengan baik maka berarti. Anda telah mempersiapkan sebuah generasi yang baik.”

Isteri-isteri Rasulullah Saw. (ummahatul mukminin) dan para shahabiyah telah membuktikan perannya sebagai madrasah yang senantiasa mentarbiyah anak-anaknya dengan shibghah Islam. Bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada anak-anak sahabat yang tidak mewarisi nilai-nilai kebaikan dari orang tuanya.

Sebut saja misalnya Usamah bin Zaid yang dibesarkan dan dididik oleh ibundanya Ummu Aiman ra. la menjadi panglima perang dalam usia 18 tahun. Begitu pula Abdullah bin Zubair yang akhirnya menemui syahadah dalam mempertahankan prinsip, dididik dengan baik oleh ibunya, Asma binti Abu Bakar ra. Atau Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah, seorang Khalifah Bani Umayah benar-benar mewarisi keutamaan akhlak dan perangai kakeknya Umar bin Khattab ra.. Ibu Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gadis penjual susu yang jujur yang kemu-.dian dinikahi oleh Ashim bin Umar bin Umar atas anjuran ayahnya, Umar bin Khattab.

Peran shahabiyah dalam mentarbiyah anak-anaknya sangat besar andilnya dalam melahirkan sebuah generasi yang tetap menjaga orisinalitas Islam (ashalah Islamiyah) yang kemudian dikenal sebagai generasi tabi’in, dan tabiit-tabi’in.

Mengapa para shahabiyah yang sekaligus merupakan istri shahabat-shahabat mulai Rasulullah mampu melakukan kerja besar seperti itu? Ternyata jawabannya adalah karena mereka tidak sekadar menanti atau menerima hak-hak tarbiyahnya, melainkan meminta dan menuntut langsung hak-hak tarbiyah mereka ke Rasulullah Saw. Sebagaimana beliau memenuhi hak-hak tarbiyah para shahabat.

Dalam satu riwayat dituturkan para istri shahabat suatu ketika merasa iri kepada suami-suaminya karena selalu menda-patkan wawasan dan pengetahun yang baru dari Rasulullah Saw. Mereka lalu menghadap Rasulullah dan memohon pada beliau agar mereka mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan para suami mereka.

"Ya Rasulallah, ij’al lanaa yauman au yaumain tu’allimanaa sya-raa’ial Islaam" (Wahai Rasulullah, berikanlah kesempatan dan waktu buat kami, satu atau dua hari untuk mendapatkan pe-ngajaran syariat Islam darimu), tuntut mereka dengan penuh semangat.

“Ijtimi’na Yaumi kadza wa kadza" (berkumpullah kalian pada hari ini dan ini), demikian Rasulullah Saw. langsung merespon kesungguhan dan semangat mereka dalam menuntut pemenuh-an hak-hak tarbiyah mereka. Wallahu a’lamu bisshawab.

Sumber :
Drs. Muhammad Said
http://beranda.blogsome.com/2006/05/02/tarbiyah-hak-semua-orang/
2 Mei 2006

Sumber Gambar:
http://sarahtidaksendiri.files.wordpress.com/2009/08/al-quran.jpg

1 komentar:

  1. Salah ayat surah Al-Israa ayat 164 sepatutnya ayat itu dari surah Al-Araf (surah ke-7) ayat 164 :)

    BalasHapus